Abstrak: Pengembangan elearning dalam dunia pendidikan memerlukan banyak faktor antara lain; teknologi infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), mencakup lingkungan yang mendukung, kebijakan pimpimpinan dan budaya. Mobile learning merupakan manufaktur dan adaptasi elearning yang di desain lebih sederhana dan memiliki fungsi yang efektif bagi dunia pembelajaran.
Tujuan program mobile learning yakni, untuk mempermudah belajar siswa di mana dan kapan pun. Karena memiliki karakteristik yang praktis di bawa kemanapun, maka mobile learning memiliki ketertarikan tersendiri. Seiring perkembangan di dunia mobile/ponsel dengan berbagai kecanggihan teknologi, banyak fitur yang mampu menyediakan kebutuhan belajar siswa maupun pendidikan. Dengan mobile yang terkoneksi dengan internet, maka sudah pasti bias menjelajah dunia manapun termasuk dalam mencari bahan ajar yang mendukung bagi pembejaran.
Pertimbangan adanya keefektifan belajar berbasis mobile menjadikan penulis untuk selalu menawarkan pengembangan model yang mutakhir guna membantu siswa maupun pendidik untuk lebih mudah dalam pembelajarn minimal dapat memberikan motivasi belajar siswa.
Kata kunci: mobile learning, elearning, pengembangan
Pendahuluan
Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di institusi pendidikan (Perguruan Tinggi atau sekolah), saat ini sudah menjadi keharusan walaupun tidak ada yang mewajibkan, karena penerapan TIK dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan suatu institusi pendidikan. Cepat atau lambat, pada akhirnya institusi pendidikan akan terkait dalam suatu komunitas yang menuntut untuk mengadopsi penerapan TIK.
E-learning (electronic learning) adalah salah satu aspek penerapan TIK di institusi pendidikan. E-learning didefinisikan sebagai penyampaian konten pembelajaran atau pengalaman belajar secara elektronik mengunakan komputer dan media berbasis komputer (Smaldino, 2005). Menurut konvensi internasional (Davidson et.al, 2006), konten pembelajaran dapat didistribusikan melalui web atau melalui CD/DVD. Selain konten pembelajaran, Smaldino (2005) menyatakan bahwa e-learning dapat memonitor performa mahasiswa.
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa elearning merupakan penyampaian konten pembelajaran secara elektronik yang disistribusikan melalui web (Internet dan/atau Internet) atau melalui CD/DVD (offline) dan ada komponen evaluasi yang melekat di dalamnya.
Apabila e-learning menjadi bagian atau berada di bawah payung distance learning (Pass & Creech, 2008) dimana tidak ada tatap muka antara dosen dan mahasiswa (student centered), sedangkan PT non Universitas Terbuka menuntut tatap muka (teacher centered), berarti terjadi suatu paradoks. Namun demikian, kedua paradigma ini tidak perlu dipertentangkan, tetapi bersifat komplemen. Keduanya dapat dikombinasikan menjadi blended learning (Rosenberg, 2006).
Paradigma ini mengkombinasikan keunggulan tatap muka di kelas dan keunggulan pembelajaran online untuk memberikan hasil terbaik. Dari pengertian dan perspektif tersebut, e-learning tidak sekedar mengupload bahan ajar ke Internet atau melakukan konten pembelajaran, tetapi lebih merupakan rekontektualisasi dan rekonseptualisasi proses pembelajaran ke dalam paradigma baru, pedagogi digital. Pradigma ini memiliki implikasi pada perubahan kultur pembelajaran konvensional ke kultur e-learning.
Penyediaan infrastruktur teknologi dan pelatihan SDM sama sekali belum menjamin keberhasilan e-learning, kultur organisasi dan faktor leadership memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan e-learning. Kita harus mempertimbangkan rekomendasi Rosenberg (2006) yang mengatakan: “when great technology meets poor culture, the culture wins everytime.” Oleh sebab itu untuk dalam pengembangan e-learning diperlukan strategi yang baik dan komprehensif.
Konsep Dasar Pembelajaran Mobile Learning
Mobile Learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan antar tempat atau lingkungan dengan menggunakan teknologi yang mudah dibawa pada saat pembelajar berada pada kondisi mobile/ponsel. Dengan berbagai potensi dan kelebihan yang dimilikinya, Mobile Learning diharapkan akan dapat menjadi sumber belajar alternatif yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses dan hasil belajar peserta didik di Indonesia di masa datang. Program mobile learning yang dimaksud dalam tulisan ini adalah program media pembelajaran berbasis ponsel/HP/mobile yang terdapat pada situs m-edukasi.net.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di dalam dunia pendidikan terus berkembang dalam berbagai strategi dan pola, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam sistem e-Learning sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan perangkat elektronik dan media digital, maupun mobile learning (m-learning) sebagai bentuk pembelajaran yang khusus memanfaatkan perangkat dan teknologi komunikasi bergerak.
Tingkat penetrasi perangkat bergerak yang sangat tinggi, tingkat penggunaan yang relatif mudah, dan harga perangkat yang semakin terjangkau, dibanding perangkat komputer personal, merupakan faktor pendorong yang semakin memperluas kesempatan penggunaan atau penerapan mobile learning sebagai sebuah kecenderungan baru dalam belajar, yang membentuk paradigma pembelajaran yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun.
Mobile Learning didefinisikan oleh Clark Quinn (Quinn 2000) sebagai : “The intersection of mobile computing and e-learning : accessible resources wherever you are, strong search capabilities, rich interaction, powerful support for effective learning, and performance-based assessment. E-Learning independent of location in time or space”. Berdasarkan definisi tersebut maka mobile learning merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pada konsep pembelajaran tersebut mobile learning membawa manfaat ketersediaan materi ajar yang dapat di akses setiap saat dan visualisasi materi yang menarik. Istilah M-Learning atau Mobile Learning merujuk pada penggunaan perangkat genggam seperti PDA, ponsel, laptop dan perangkat teknologi informasi yang akan banyak digunakan dalam belajar mengajar, dalam hal ini kita fokuskan pada perangkat handphone (telepon genggam). Tujuan dari pengembangan mobile learning sendiri adalah proses belajar sepanjang waktu (long life learning), siswa/mahasiswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran, menghemat waktu karena apabila diterapkan dalam proses belajar maka mahasiswa tidak perlu harus hadir di kelas hanya untuk mengumpulkan tugas, cukup tugas tersebut dikirim melalui aplikasi pada mobile phone yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas proses belajar itu sendiri.
Dari ilustrasi tersebut di atas, setidak-tidaknya dapat diambil tiga hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar Mobile Learning, yaitu : a) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan (jaringan dalam uraian ini dibatasi pada penggunaan internet), jaringan dapat saja dengan LAN atau WAN; b) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya ponsel/HP, atau bahan cetak; dan c) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan.
Fungsi dan Manfaat Mobile Learning
Terdapat tiga fungsi Mobile Learning dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction), yaitu sebagai suplement (tambahan) yang sifatnya pilihan (opsional), pelengkap (komplemen), atau pengganti (substitusi).
a. Suplemen (tambahan)
Mobile Learning berfungsi sebagai suplement (tambahan), yaitu: peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi Mobile Learning atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi Mobile Learning. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
b. Komplemen (pelengkap)
Mobile Learning berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), yaitu: materinya diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Di sini berarti materi Mobile Learning diprogramkan untuk menjadi materi reinforcement (penguatan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
c. Substitusi (pengganti)
Beberapa perguruan tinggi di negara-negara maju memberikan beberapa alternatif model kegiatan pembelajaran kepada para peserta didik /siswanya. Tujuannya agar para peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahannya sesuai dengan waktu dan aktifitas sehari-hari peserta didik. Ada tiga alternative model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yaitu: 1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional); 2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau 3) sepenuhnya melalui internet.
Mobile Learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan materi pelajaran. Demikian juga interaksi antara peserta didik dengan pendidik/instruktur maupun antara sesama peserta didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat mengenai berbagi hal yang menyangkut pelajaran ataupun kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Pendidik/instruktur dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di dalam websites untuk diakses oleh para peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, pendidik/instruktur dapat pula memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula.
Berikut ini ada beberapa manfaat mengenai Mobile Learning dari dua sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan pendidik:
a. Peserta Didik
Dengan kegiatan Mobile Learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar yang tinggi. Artinya, peserta didik dapat mengaskses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang. Peserta didik juga dapat berkomunikasi dengan pendidik setiap saat. Dengan kondisi yang demikian ini, peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.
Manakala fasilitas infrastruktur tidak hanya tersedia di daerah perkotaan tetapi telah menjangkau daerah kecamatan dan pedesaaan, maka kegiatan Mobile Learning akan memberikan manfaat kepada peserta didik yang : 1) belajar di sekolah-sekolah kecil di daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya; 2) mengikuti program pendidik dirumah (home schoolers) untuk mempelajari materi pembelajaran yang tidak dapat diajarkan oleh para orang tuanya, seperti bahasa asing dan keterampilan di bidang komputer; 3) merasa phobia dengan sekolah, atau peserta didik yang dirawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tetapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri; dan 4) tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan.
b. Pendidik
Dengan adanya kegiatan Mobile Learning, beberapa manfaat yang diperoleh pendidik/instruktur antara lain adalah bahwa mereka dapat: 1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jwabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi; 2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkata wawasannya karena waktu luang yang dimiliki relatif banyak; 3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik, bahkan pendidik/instruktur juga dapat mengetahui kapan peserta didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajri, serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang; 4) mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu; 5) memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepda peserta didik.
Mobile Learning dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam membentuk budaya belajar baru yang lebih modern, demokratis dan mendidik. Budaya belajar adalah bagian kecil dari budaya masyarakat. Budaya masyarakat diartikan sebagai keterpaduan keseluruhan objek, ide, pengetahuan, lembaga, cara mengerjakan sesuatu, kebiasaan, pola perilaku, nilai, dan sikap tiap generasi dalam suatu masyarakat yang diterima suatu generasi dari generasi pendahulunya dan diteruskan acapkali dalam bentuk yang sudah berubah kepada generasi penerusnya (Kartasasmita, 2003).
Model Mobile Learning dalam Pengembangan E-Learning
Pengembangan e-learning melibatkan beberapa aspek yaitu: (1) infrastruktur teknologi; (2) sumber daya; dan (3) lingkungan. Setiap entitas memiliki peran yang berbeda tetapi konvergen untuk menciptakan suatu sistem. Infrastruktur teknologi terdiri dari hardware dan software. Hardware meliputi ketersediaan komputer, jaringan intranet, dan koneksi Internet. Learning Management System (LMS) merupakan software utama untuk e-learning yang dirancang untuk menangani proses komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Untuk menangani infrastruktur teknologi ini diperlukan unit khusus (administrator) yang memberi layanan teknis untuk menangani sistem secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Sumber Daya Manusia terdiri dari Dosen dan mahasiswa. Dosen bertugas untuk menyediakan konten pembelajaran dalam format digital dan melakukan evaluasi. Mahasiswa bertugas untuk mengakses konten pembelajaran, mengerjakan tugas, dan mengerjakan test.
Lingkungan terdiri dari kepemimpinan dan kultur (Psycharis, 2005), merupakan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan e-learning. Di sini peran pemimpin sangat penting dalam menciptakan kultur yang kondusif dalam imlementasi e-learning, bukan sebaliknya, kultur menciptakan kepemimpinan. Salah satu metode pengembangan e-learning adalah ADDIE (Analysis–Design–Development–Implementation–Evaluate) (http.en.wikipedia.org).
Dari lima tahapan ini, yang paling berat adalah tahap anailisis, karena harus dilakukan secara cermat dan komprehenfip. Tahap ini akan menentukan keberhasilan yang dilakukan tahap di belakangnya, seperti motto dalam manajemen: “if you fail to plan, you are planning to fail”. Chapnick (2000) dan Gold dalam Aydm (2005) memperingatkan bahwa harus berhati-hati dalam proses adopsi e-learning untuk suatu organisasi. Mereka menagaskan bahwa adopsi e-learning tanpa perencanaan yang cermat kemungkinan besar akan berakhir dengan cost overruns, produk pembelajaran yang tidak menarik, dan kegagalan.
Dari pengalaman penulis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan pendampingan di Sekolah Menengah dalam menangani hibah yang terkait dengan e-learning, tahap yang paling lemah adalah tahap analisis. Sehingga hasil evaluasi menunjukkan bahwa sangat sedikit dosen yang memanfaatkan e-learning, walaupun infrastruktur teknologi sudah tersedia dan pelatihan sudah dilaksanakan.
Kegagalan ini bukan para pelaksana di lapangan, tetapi pada persyaratan hibah yang tidak menuntut analisis yang komprehensip. Oleh sebab itu diperlukan instrumen evaluasi dalam setiap tahapan dalam pengembangan elearning. Rosenberg (2000) menyatakan bahwa model e-learning readiness menjadi instrumen yang sangat efektif untuk melakukan evaluasi efektifitas strategi organisasi dalam mengembangan e-learning dan sebagai dasar evaluasi dari efektifitas program e-learning. Model e-leaning readiness dipandang tepat sebagai instrumen yang “mengawal” perjalanan pengembangan elearnig dari tahap analisis sampai pada tahap evaluasi.
Pada pengembangan e-learning diperlukan data prakondisi sebelum program diterapkan. Tahap analisis bertugas menyiapkan data prakondisi yang mencakup semua aspek yang akan mempengaruhi keberhasilan e-learning, diwujudkan dalam dokumen analisis kebutuhan.
Pada tahapan analisis (Chapnick, 2000) menyatakan bahwa sebelum mengimplementasikan program e-learning, organisasi perlu melakukan analisis kebutuhan dengan memuat dukumen kebutuhan (requirements document) yang mencakup: (1) sasaran (sasaran makro organisasi dan saranan mikro pembelajaran); (2) skor kesiapan e-learning; (3) daftar keuntungan dan kendala dalam mengadopsi e-learning; dan (4) daftar kemungkinan konfigurasi e-learning.
Dari skor kesiapan e-learning tahap analisis akan diperoleh area mana yang dipandang sudah siap dan area mana yang lemah, data ini digunakan sebagai base line untuk tahap berikutnya. Oleh sebab itu, pada tahap desain, pengembangan, dan implementasi harus memperbaiki pada area yang lemah. Sebagai contoh, apabila dipandang lemah dari sisi kompetensi Dosen, maka perlu diadakan pelatihan. Tetapi apabila semua dosen sudah memiliki kompetensi yang cukup tidak perlu diadakan pelatihan, untuk penghematan biaya.
Pada tahap evaluasi program, model e-learning readiness dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi. Dari hasil evaluasi dapat diketahui apakah implementasi e-learning berhasil atau gagal, dilihat dari adanya peningkatan skor atau tidak. Dari hasil evaluasi dapat dideteksi apakah area yang lemah sudah dapat diperbaiki. Hasil evaluasi ini selanjutnya digunakan sebagai recycling decission untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.
Model Mobile Learning tidak hanya digunakan selama proses pengembangan, atau selama periode hibah (misal dua tahun). Tetapi sebaiknya digunakan seara terus menerus untuk menjaga keberlangsungan program adopsi e-learning. Sebagai contoh program penilaian Mobile Learning yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit yang mengukur kesiapan e-lelarning negara-negara di dunia, dapat di adopsi untuk lingkup sekolah atau perguruan tinggi.
Model Mobile Learning yang diusulkan Cahpnick telah digunakan oleh Ministry of Education (MOE) Singapura dalam perencanaan pengembangan e-learning di sekolah-sekolah di Singapura (Swatman, 2006). Hasilnya, dapat dilihat pada peringkat Mobile Learning yang dipublikasikan pada tahun 2003 (EIU, 2003), dimana Singapura menduduki peringkat 5 dan Indonesia pada peringkat 52 dari 60 negara.
Kasus di Singapura ini dapat menjadi contoh yang baik bagi pengembangan e-learning di Indonesia. Hongkong yang dapat disejajarkan dengan Singapura menempati peringkat 19 pada tahun yang sama, dan memuji Singapura dalam strategi pengembangan e-learning.
Kesimpulan
Pengembangan e-learning di institusi pendidikan melibatkan banyak faktor dalam organisasi, yaitu infrastruktur teknologi, sumber daya manusia, dan lingkungan yang mencakup kepemimpinan dan kultur. Model Mobile Learning merupakan manifestasi dari kesiapan seluruh komponen organisasi untuk mengadopsi e-learning.
Model Mobile Learning tidak hanya untuk mengukur tingkat kesiapan institusi untuk mengimplemantasikan e-learning. Tetapi yang lebih penting adalah dapat mengungkap faktor atau area mana masih lemah dan memerlukan perbaikan dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam mendukung implementasi e-learning.
Model Mobile Learning pada tahap analisis digunakan untuk menyusun materi kebutuhan yang menjadi base line untuk tahap desain, pengembangan, dan implementasi. Pada tahap evaluasi, model Mobile Learning digunakan untuk mengukur keberhasilan dan menentukan prestasi untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.
Tujuan program mobile learning yakni, untuk mempermudah belajar siswa di mana dan kapan pun. Karena memiliki karakteristik yang praktis di bawa kemanapun, maka mobile learning memiliki ketertarikan tersendiri. Seiring perkembangan di dunia mobile/ponsel dengan berbagai kecanggihan teknologi, banyak fitur yang mampu menyediakan kebutuhan belajar siswa maupun pendidikan. Dengan mobile yang terkoneksi dengan internet, maka sudah pasti bias menjelajah dunia manapun termasuk dalam mencari bahan ajar yang mendukung bagi pembejaran.
Pertimbangan adanya keefektifan belajar berbasis mobile menjadikan penulis untuk selalu menawarkan pengembangan model yang mutakhir guna membantu siswa maupun pendidik untuk lebih mudah dalam pembelajarn minimal dapat memberikan motivasi belajar siswa.
Kata kunci: mobile learning, elearning, pengembangan
Pendahuluan
Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di institusi pendidikan (Perguruan Tinggi atau sekolah), saat ini sudah menjadi keharusan walaupun tidak ada yang mewajibkan, karena penerapan TIK dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan suatu institusi pendidikan. Cepat atau lambat, pada akhirnya institusi pendidikan akan terkait dalam suatu komunitas yang menuntut untuk mengadopsi penerapan TIK.
E-learning (electronic learning) adalah salah satu aspek penerapan TIK di institusi pendidikan. E-learning didefinisikan sebagai penyampaian konten pembelajaran atau pengalaman belajar secara elektronik mengunakan komputer dan media berbasis komputer (Smaldino, 2005). Menurut konvensi internasional (Davidson et.al, 2006), konten pembelajaran dapat didistribusikan melalui web atau melalui CD/DVD. Selain konten pembelajaran, Smaldino (2005) menyatakan bahwa e-learning dapat memonitor performa mahasiswa.
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa elearning merupakan penyampaian konten pembelajaran secara elektronik yang disistribusikan melalui web (Internet dan/atau Internet) atau melalui CD/DVD (offline) dan ada komponen evaluasi yang melekat di dalamnya.
Apabila e-learning menjadi bagian atau berada di bawah payung distance learning (Pass & Creech, 2008) dimana tidak ada tatap muka antara dosen dan mahasiswa (student centered), sedangkan PT non Universitas Terbuka menuntut tatap muka (teacher centered), berarti terjadi suatu paradoks. Namun demikian, kedua paradigma ini tidak perlu dipertentangkan, tetapi bersifat komplemen. Keduanya dapat dikombinasikan menjadi blended learning (Rosenberg, 2006).
Paradigma ini mengkombinasikan keunggulan tatap muka di kelas dan keunggulan pembelajaran online untuk memberikan hasil terbaik. Dari pengertian dan perspektif tersebut, e-learning tidak sekedar mengupload bahan ajar ke Internet atau melakukan konten pembelajaran, tetapi lebih merupakan rekontektualisasi dan rekonseptualisasi proses pembelajaran ke dalam paradigma baru, pedagogi digital. Pradigma ini memiliki implikasi pada perubahan kultur pembelajaran konvensional ke kultur e-learning.
Penyediaan infrastruktur teknologi dan pelatihan SDM sama sekali belum menjamin keberhasilan e-learning, kultur organisasi dan faktor leadership memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan e-learning. Kita harus mempertimbangkan rekomendasi Rosenberg (2006) yang mengatakan: “when great technology meets poor culture, the culture wins everytime.” Oleh sebab itu untuk dalam pengembangan e-learning diperlukan strategi yang baik dan komprehensif.
Konsep Dasar Pembelajaran Mobile Learning
Mobile Learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan antar tempat atau lingkungan dengan menggunakan teknologi yang mudah dibawa pada saat pembelajar berada pada kondisi mobile/ponsel. Dengan berbagai potensi dan kelebihan yang dimilikinya, Mobile Learning diharapkan akan dapat menjadi sumber belajar alternatif yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses dan hasil belajar peserta didik di Indonesia di masa datang. Program mobile learning yang dimaksud dalam tulisan ini adalah program media pembelajaran berbasis ponsel/HP/mobile yang terdapat pada situs m-edukasi.net.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di dalam dunia pendidikan terus berkembang dalam berbagai strategi dan pola, yang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam sistem e-Learning sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan perangkat elektronik dan media digital, maupun mobile learning (m-learning) sebagai bentuk pembelajaran yang khusus memanfaatkan perangkat dan teknologi komunikasi bergerak.
Tingkat penetrasi perangkat bergerak yang sangat tinggi, tingkat penggunaan yang relatif mudah, dan harga perangkat yang semakin terjangkau, dibanding perangkat komputer personal, merupakan faktor pendorong yang semakin memperluas kesempatan penggunaan atau penerapan mobile learning sebagai sebuah kecenderungan baru dalam belajar, yang membentuk paradigma pembelajaran yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun.
Mobile Learning didefinisikan oleh Clark Quinn (Quinn 2000) sebagai : “The intersection of mobile computing and e-learning : accessible resources wherever you are, strong search capabilities, rich interaction, powerful support for effective learning, and performance-based assessment. E-Learning independent of location in time or space”. Berdasarkan definisi tersebut maka mobile learning merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pada konsep pembelajaran tersebut mobile learning membawa manfaat ketersediaan materi ajar yang dapat di akses setiap saat dan visualisasi materi yang menarik. Istilah M-Learning atau Mobile Learning merujuk pada penggunaan perangkat genggam seperti PDA, ponsel, laptop dan perangkat teknologi informasi yang akan banyak digunakan dalam belajar mengajar, dalam hal ini kita fokuskan pada perangkat handphone (telepon genggam). Tujuan dari pengembangan mobile learning sendiri adalah proses belajar sepanjang waktu (long life learning), siswa/mahasiswa dapat lebih aktif dalam proses pembelajaran, menghemat waktu karena apabila diterapkan dalam proses belajar maka mahasiswa tidak perlu harus hadir di kelas hanya untuk mengumpulkan tugas, cukup tugas tersebut dikirim melalui aplikasi pada mobile phone yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas proses belajar itu sendiri.
Dari ilustrasi tersebut di atas, setidak-tidaknya dapat diambil tiga hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar Mobile Learning, yaitu : a) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan (jaringan dalam uraian ini dibatasi pada penggunaan internet), jaringan dapat saja dengan LAN atau WAN; b) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya ponsel/HP, atau bahan cetak; dan c) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan.
Fungsi dan Manfaat Mobile Learning
Terdapat tiga fungsi Mobile Learning dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction), yaitu sebagai suplement (tambahan) yang sifatnya pilihan (opsional), pelengkap (komplemen), atau pengganti (substitusi).
a. Suplemen (tambahan)
Mobile Learning berfungsi sebagai suplement (tambahan), yaitu: peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi Mobile Learning atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi Mobile Learning. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
b. Komplemen (pelengkap)
Mobile Learning berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), yaitu: materinya diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas. Di sini berarti materi Mobile Learning diprogramkan untuk menjadi materi reinforcement (penguatan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
c. Substitusi (pengganti)
Beberapa perguruan tinggi di negara-negara maju memberikan beberapa alternatif model kegiatan pembelajaran kepada para peserta didik /siswanya. Tujuannya agar para peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahannya sesuai dengan waktu dan aktifitas sehari-hari peserta didik. Ada tiga alternative model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yaitu: 1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional); 2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau 3) sepenuhnya melalui internet.
Mobile Learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan materi pelajaran. Demikian juga interaksi antara peserta didik dengan pendidik/instruktur maupun antara sesama peserta didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat mengenai berbagi hal yang menyangkut pelajaran ataupun kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Pendidik/instruktur dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di dalam websites untuk diakses oleh para peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, pendidik/instruktur dapat pula memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula.
Berikut ini ada beberapa manfaat mengenai Mobile Learning dari dua sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan pendidik:
a. Peserta Didik
Dengan kegiatan Mobile Learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar yang tinggi. Artinya, peserta didik dapat mengaskses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang. Peserta didik juga dapat berkomunikasi dengan pendidik setiap saat. Dengan kondisi yang demikian ini, peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.
Manakala fasilitas infrastruktur tidak hanya tersedia di daerah perkotaan tetapi telah menjangkau daerah kecamatan dan pedesaaan, maka kegiatan Mobile Learning akan memberikan manfaat kepada peserta didik yang : 1) belajar di sekolah-sekolah kecil di daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya; 2) mengikuti program pendidik dirumah (home schoolers) untuk mempelajari materi pembelajaran yang tidak dapat diajarkan oleh para orang tuanya, seperti bahasa asing dan keterampilan di bidang komputer; 3) merasa phobia dengan sekolah, atau peserta didik yang dirawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tetapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri; dan 4) tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan.
b. Pendidik
Dengan adanya kegiatan Mobile Learning, beberapa manfaat yang diperoleh pendidik/instruktur antara lain adalah bahwa mereka dapat: 1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jwabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi; 2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkata wawasannya karena waktu luang yang dimiliki relatif banyak; 3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik, bahkan pendidik/instruktur juga dapat mengetahui kapan peserta didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajri, serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang; 4) mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu; 5) memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepda peserta didik.
Mobile Learning dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam membentuk budaya belajar baru yang lebih modern, demokratis dan mendidik. Budaya belajar adalah bagian kecil dari budaya masyarakat. Budaya masyarakat diartikan sebagai keterpaduan keseluruhan objek, ide, pengetahuan, lembaga, cara mengerjakan sesuatu, kebiasaan, pola perilaku, nilai, dan sikap tiap generasi dalam suatu masyarakat yang diterima suatu generasi dari generasi pendahulunya dan diteruskan acapkali dalam bentuk yang sudah berubah kepada generasi penerusnya (Kartasasmita, 2003).
Model Mobile Learning dalam Pengembangan E-Learning
Pengembangan e-learning melibatkan beberapa aspek yaitu: (1) infrastruktur teknologi; (2) sumber daya; dan (3) lingkungan. Setiap entitas memiliki peran yang berbeda tetapi konvergen untuk menciptakan suatu sistem. Infrastruktur teknologi terdiri dari hardware dan software. Hardware meliputi ketersediaan komputer, jaringan intranet, dan koneksi Internet. Learning Management System (LMS) merupakan software utama untuk e-learning yang dirancang untuk menangani proses komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Untuk menangani infrastruktur teknologi ini diperlukan unit khusus (administrator) yang memberi layanan teknis untuk menangani sistem secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Sumber Daya Manusia terdiri dari Dosen dan mahasiswa. Dosen bertugas untuk menyediakan konten pembelajaran dalam format digital dan melakukan evaluasi. Mahasiswa bertugas untuk mengakses konten pembelajaran, mengerjakan tugas, dan mengerjakan test.
Lingkungan terdiri dari kepemimpinan dan kultur (Psycharis, 2005), merupakan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan e-learning. Di sini peran pemimpin sangat penting dalam menciptakan kultur yang kondusif dalam imlementasi e-learning, bukan sebaliknya, kultur menciptakan kepemimpinan. Salah satu metode pengembangan e-learning adalah ADDIE (Analysis–Design–Development–Implementation–Evaluate) (http.en.wikipedia.org).
Dari lima tahapan ini, yang paling berat adalah tahap anailisis, karena harus dilakukan secara cermat dan komprehenfip. Tahap ini akan menentukan keberhasilan yang dilakukan tahap di belakangnya, seperti motto dalam manajemen: “if you fail to plan, you are planning to fail”. Chapnick (2000) dan Gold dalam Aydm (2005) memperingatkan bahwa harus berhati-hati dalam proses adopsi e-learning untuk suatu organisasi. Mereka menagaskan bahwa adopsi e-learning tanpa perencanaan yang cermat kemungkinan besar akan berakhir dengan cost overruns, produk pembelajaran yang tidak menarik, dan kegagalan.
Dari pengalaman penulis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan pendampingan di Sekolah Menengah dalam menangani hibah yang terkait dengan e-learning, tahap yang paling lemah adalah tahap analisis. Sehingga hasil evaluasi menunjukkan bahwa sangat sedikit dosen yang memanfaatkan e-learning, walaupun infrastruktur teknologi sudah tersedia dan pelatihan sudah dilaksanakan.
Kegagalan ini bukan para pelaksana di lapangan, tetapi pada persyaratan hibah yang tidak menuntut analisis yang komprehensip. Oleh sebab itu diperlukan instrumen evaluasi dalam setiap tahapan dalam pengembangan elearning. Rosenberg (2000) menyatakan bahwa model e-learning readiness menjadi instrumen yang sangat efektif untuk melakukan evaluasi efektifitas strategi organisasi dalam mengembangan e-learning dan sebagai dasar evaluasi dari efektifitas program e-learning. Model e-leaning readiness dipandang tepat sebagai instrumen yang “mengawal” perjalanan pengembangan elearnig dari tahap analisis sampai pada tahap evaluasi.
Pada pengembangan e-learning diperlukan data prakondisi sebelum program diterapkan. Tahap analisis bertugas menyiapkan data prakondisi yang mencakup semua aspek yang akan mempengaruhi keberhasilan e-learning, diwujudkan dalam dokumen analisis kebutuhan.
Pada tahapan analisis (Chapnick, 2000) menyatakan bahwa sebelum mengimplementasikan program e-learning, organisasi perlu melakukan analisis kebutuhan dengan memuat dukumen kebutuhan (requirements document) yang mencakup: (1) sasaran (sasaran makro organisasi dan saranan mikro pembelajaran); (2) skor kesiapan e-learning; (3) daftar keuntungan dan kendala dalam mengadopsi e-learning; dan (4) daftar kemungkinan konfigurasi e-learning.
Dari skor kesiapan e-learning tahap analisis akan diperoleh area mana yang dipandang sudah siap dan area mana yang lemah, data ini digunakan sebagai base line untuk tahap berikutnya. Oleh sebab itu, pada tahap desain, pengembangan, dan implementasi harus memperbaiki pada area yang lemah. Sebagai contoh, apabila dipandang lemah dari sisi kompetensi Dosen, maka perlu diadakan pelatihan. Tetapi apabila semua dosen sudah memiliki kompetensi yang cukup tidak perlu diadakan pelatihan, untuk penghematan biaya.
Pada tahap evaluasi program, model e-learning readiness dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi. Dari hasil evaluasi dapat diketahui apakah implementasi e-learning berhasil atau gagal, dilihat dari adanya peningkatan skor atau tidak. Dari hasil evaluasi dapat dideteksi apakah area yang lemah sudah dapat diperbaiki. Hasil evaluasi ini selanjutnya digunakan sebagai recycling decission untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.
Model Mobile Learning tidak hanya digunakan selama proses pengembangan, atau selama periode hibah (misal dua tahun). Tetapi sebaiknya digunakan seara terus menerus untuk menjaga keberlangsungan program adopsi e-learning. Sebagai contoh program penilaian Mobile Learning yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit yang mengukur kesiapan e-lelarning negara-negara di dunia, dapat di adopsi untuk lingkup sekolah atau perguruan tinggi.
Model Mobile Learning yang diusulkan Cahpnick telah digunakan oleh Ministry of Education (MOE) Singapura dalam perencanaan pengembangan e-learning di sekolah-sekolah di Singapura (Swatman, 2006). Hasilnya, dapat dilihat pada peringkat Mobile Learning yang dipublikasikan pada tahun 2003 (EIU, 2003), dimana Singapura menduduki peringkat 5 dan Indonesia pada peringkat 52 dari 60 negara.
Kasus di Singapura ini dapat menjadi contoh yang baik bagi pengembangan e-learning di Indonesia. Hongkong yang dapat disejajarkan dengan Singapura menempati peringkat 19 pada tahun yang sama, dan memuji Singapura dalam strategi pengembangan e-learning.
Kesimpulan
Pengembangan e-learning di institusi pendidikan melibatkan banyak faktor dalam organisasi, yaitu infrastruktur teknologi, sumber daya manusia, dan lingkungan yang mencakup kepemimpinan dan kultur. Model Mobile Learning merupakan manifestasi dari kesiapan seluruh komponen organisasi untuk mengadopsi e-learning.
Model Mobile Learning tidak hanya untuk mengukur tingkat kesiapan institusi untuk mengimplemantasikan e-learning. Tetapi yang lebih penting adalah dapat mengungkap faktor atau area mana masih lemah dan memerlukan perbaikan dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam mendukung implementasi e-learning.
Model Mobile Learning pada tahap analisis digunakan untuk menyusun materi kebutuhan yang menjadi base line untuk tahap desain, pengembangan, dan implementasi. Pada tahap evaluasi, model Mobile Learning digunakan untuk mengukur keberhasilan dan menentukan prestasi untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.
0 Coment:
Posting Komentar