Pada era sekarang ini, penggunaan
energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi
berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara
sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk.
Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara
menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu,
diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan
sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.
Salah satu energi yang terbarukan
yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan
sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata
dan Gracilaria verrucosa merupakan
spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki
kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya
dapat diubah menjadi bioetanol.
Proses pembuatan bioetanol dari
rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati
menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi
etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara
distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan
dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses
distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih
etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC
untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100
oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit
kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Keuntungan mengembangkan energi
berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak
mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain
itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan
dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk
membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan
budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput
laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal
potensial.
Proses pembudidayaan rumput laut pun
relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen.
Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu,
singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun
melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang
menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global
selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang
besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri
bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global
lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali
lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.
Tantangan
Mikroalga
memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil bioenergi. Budidayanya
sangat mudah dilakukan oleh siapapun. Diperlukan keselarasan pemanfaatan
mikroalga pada proses produksi bioetanol dan biodiesel. Hal ini bertujuan agar
tidak terjadi overlap antara mikroalga untuk biodiesel dan
bioetanol, serta menghasilkan suatu produk industri yang dihasilkan melalui
sistem produksi bersih (zero waste). Kontribusi
kita sebagai mahasiswa memegang peranan penting untuk melakukan riset lebih
jauh untuk menghasilkan bioenergi dari mikroalga yang lebih berkualitas. Baik
itu metode ekstraksi maupun teknik pemilihan dan budidaya spesies mikroalga
yang potensial. Semoga bangsa kita menjadi bangsa yang tidak merasakan dampak
krisis energi dengan adanya energi alternatif terbarukan dari mikroalga.